Martin Fu: Entrepreneur Juga Butuh Pendidikan Tinggi

Ricky Setiawan
Ricky Setiawan
10:00 am on January 23, 2016

Jadi entrepreneur tidak perlu kuliah tinggi? Benarkah? Untuk mengetahuinya, saya mewawancarai Martin Fu, Founder Rooang yang bisa dibilang memiliki latar pendidikan luar biasa.

Martin mendapatkan gelar S1-nya dari University of Illinois at Urbana-Champaign dan gelar MSc di Stanford University. Selain itu ia juga mempelajari budaya dan bahasa Cina selama satu tahun di Beijing Language and Culture University serta budaya dan bahasa Jepang di Kanazawa Institute of Technology.

Pada tahun 2014, Martin mendirikan Rooang, startup yang mempertemukan kebutuhan pemilik rumah dengan para arsitek dan desainer interior terbaik di Indonesia.

Yuk, mari kita simak cerita dan kisahnya sebagai seorang entrepreneur muda!

Menutup gap antara pemilik rumah dan arsitek

rooang

Ide Rooang sendiri muncul ketika Martin melihat adanya gap antara kebutuhan pemilik rumah dan arsitek. Di tengah meningkatnya jumlah kelas menengah di Indonesia, muncul banyak kebutuhan untuk membuat rumah menjadi lebih indah.

“Kelas menengah ini datang ke mal, melihat-lihat, dan mereka ingin rumahnya didesain secara profesional seperti ruangan dalam mal-mal itu. Tapi, mereka sering kesulitan menemukan arsitek yang sesuai, apalagi mereka yang tinggal di luar kota,” ungkapnya.

Memang, di Indonesia belum banyak platform yang secara sistematis mempertemukan dua kebutuhan tersebut. Sebagian besar arsitek saat ini lebih banyak mendapatkan pelanggan dari informasi mulut ke mulut. Martin ingin agar Rooang bisa menawarkan sistem yang efisien untuk memenuhi kebutuhan, baik pemilik rumah maupun desainer.

Selain mempertemukan dua kebutuhan tersebut, Rooang juga membantu pemilik rumah yang ingin mendapatkan inspirasi lewat artikel-artikelnya. Penambahan fitur juga diberikan berdasarkan masukan-masukan dari pengguna Rooang, antara lain penambahan kategori DIY (do it yourself), perubahan desain, dan beberapa perubahan lainnya.

Martin juga menekankan bahwa Rooang tidak terbatas hanya pada desain rumah, tetapi juga kantor, restoran, dan lain-lain. Alasannya adalah karena rumah tidak hanya ada di satu tempat, tapi juga ada “rumah kedua” seperti kantor atau kafe. Dan seringkali waktu kita lebih banyak dihabiskan di sana.

Mau jadi entrepreneur sampai level apa?

buku

Sumber foto Pexels

Yang unik dari Martin sebagai seorang founder adalah latar belakang pendidikannya yang tinggi. Padahal selama ini banyak berkembang ide bahwa entrepreneur itu tidak harus pintar atau bahkan tidak perlu sekolah.

Semua orang bisa jadi entrepreneur, tapi mau jadi entrepreneur sampai level apa?

Martin mengungkapkan bahwa risiko kegagalan menjadi entrepreneur itu sangat tinggi, sehingga kita perlu memikirkan bagaimana risiko tersebut dapat dikelola. Salah satunya dengan cara belajar di sekolah.

Martin melihat bahwa mereka yang percaya bahwa entrepreneur tidak perlu sekolah itu terpengaruh oleh apa yang ia sebut sebagai celebrity entrepreneur, seperti Bill Gates dan Steve Jobs.

Ia berpendapat bahwa pemikiran itu tidak salah, tetapi perlu diwaspadai juga bahwa tidak banyak orang yang bisa beruntung seperti Founder Microsoft dan Apple itu. Banyak juga orang yang dropout, memulai usaha, kemudian gagal dan tidak berhasil. Ini disebabkan karena risiko kegagalan seorang entrepreneur itu sangat tinggi.

“Nah, di sekolah kita diajarkan cara berpikir yang terbaik dan belajar dari best practice untuk meminimalkan risiko kegagalan tersebut,” tambah Martin.

Selain itu, lewat sekolah kita juga mendapatkan jaringan. Menurutnya, banyak co-founder yang dulunya teman sekolah, seperti duo-pendiri Google. Jadi, dapat disimpulkan bahwa sekolah bisa memberikan manfaat yang besar bagi perkembangan diri seorang entrepreneur.

Pitching, pitching, dan pitching

pitching

Sumber foto Pexels

Ditanya soal kesibukannya, Martin bercerita bahwa, selain merintis Rooang, ia juga aktif berperan sebagai direktur PT Mikatasa Agung, sebuah perusahaan yang memproduksi lem dan cat. Perusahaan ini dirintis oleh keluarganya dan sudah lebih dari 40 tahun beroperasi.

Tentu merupakan sebuah tantangan tersendiri mengelola dua perusahaan yang sifatnya berbeda. Bagi Martin, tantangan terbesar mengelola Mikatasa sebagai sebuah perusahaan tradisional adalah mengubah budaya dan sistem yang sudah mengakar ke bentuk baru yang lebih modern dan efisien.

Baca juga: Adhika Dwi Pramudita: “Menjadi Entrepreneur Itu Seperti Naik Roller Coaster

Sementara itu, tantangan mengelola startup seperti Rooang adalah bagaimana meyakinkan orang bahwa ide yang kita lakukan akan berjalan.

“Namun, sesuatu yang baru ini memiliki risiko. Karena itu banyak orang yang enggan untuk ikut terlibat,” tambah Martin.

Ini berlaku baik bagi partner bisnis Rooang maupun karyawan yang bekerja di dalamnya.

“Kita sebagai nakhoda mesti meyakinkan tim kita bahwa mereka ada di kapal yang benar,” ungkapnya.

Martin memberikan satu kata kunci untuk memecahkan masalah baik pada perusahaan tradisional maupun startup: pitching. Sebagai seorang entrepreneur, kita harus bisa mengartikulasikan ide kita kepada orang lain dengan jelas, sehingga mereka dapat diyakinkan dengan feasibility ide yang kita jalankan.

Entrepreneur itu harus jualan terus. Pitching, pitching, pitching!

Tentu selain pitching, mereka juga perlu pembuktian.

“Kita perlu membuktikannya pelan-pelan dari hal terkecil, quick wins” ungkapnya.

Dari keberhasilan ide-ide kecil ini orang akan yakin dengan ide-ide besar yang kita miliki.

Peluang dari kesemrawutan

semrawut

Sumber foto Jude Lee

Martin kemudian menceritakan alasannya untuk kembali ke Indonesia. Menurutnya, Indonesia tidak seperti negara maju yang sudah teratur.

“Di sini semrawut, tapi dari kesemrawutan ini justru muncul peluang,” katanya.

Keputusannya itu terbukti tepat. Kenyataannya, saat ini Indonesia mengalami “dot-com boom” kedua yang menurutnya dimulai sekitar tahun 2013 dan masih berlangsung hingga sekarang. Ini ditandai dengan masuknya modal dalam jumlah besar untuk startup teknologi di Indonesia.

Baca juga: Entrepreneur Ini Membuat Startup untuk Mengatasi Masalah Ibunya

Untuk para entrepreneur pemula yang ingin ikut terlibat dalam perkembangan pesat industri ini, Martin memberikan sarannya:

Startup itu brutal. Jangan menjadi entrepreneur karena ingin jadi kaya, karena startup gak ada duitnya setidaknya sampai satu atau dua tahun; dan jangan jadi entrepreneur karena ingin kerja fleksibel, seorang entrepreneur itu bekerja 24 jam.

Ia menyarankan untuk menjadi entrepreneur karena ingin memecahkan sebuah masalah yang meaningful. Artinya, lanjut Martin, bahwa masalah tersebut dialami oleh banyak orang, sehingga dengan memecahkannya kita bisa mengubah kehidupan orang lain ke arah yang lebih baik.

“Mimpi yang besar akan membantu kita bertahan dalam kondisi seberat apa pun,” tutupnya.

(Diedit oleh Fadly Yanuar Iriansyah)


Replies
Scroll ke bawah untuk artikel selanjutnya.